Kisah Mbah Dullah dan Mbah Lim Rebutan Menjadi Makmum

KH. Abdullah Zain Salam (Mbah Dullah) Kajen, Pati, Jawa Tengah dikenal menjadi seorang kiai yang begitu tawadhu? (rendah hati). Dia selalu ?Menempatkan dirinya lebih rendah? Dibandingkan orang lain & merasa dirinya penuh kekurangan sehingga nir layak buat dimuliakan. Padahal orang-orang tahu, Mbah Dullah merupakan kiai yang alim dan bahkan dipercaya menjadi 'wali'.

Ketawadhuan Mbah Dullah tercermin sepanjang hidupnya. Bahkan sebelum wafat, Mbah Dullah berpesan supaya keterangan wafatnya nir diumumkan pada khalayak ramai. Alasan yg dikemukakan Mbah Dullah penuh dengan ketawadhuan. Yakni beliau malu jika orang ramai-ramai menshalatinya ad interim dirinya belum tentu termasuk menurut golongan orang-orang baik.

?Kalau saya mangkat kelak, tidak usah diumumkan ke mana-mana. Jangan sampai terjadi orang bergiliran, rombongan demi rombongan melakukan shalat jenazah. Saya membuat malu terhadap perlakuan semacam itu karena belum tentu aku termasuk golongan orang-orang baik,? Istilah Mbah Dullah kepada putranya.

Ada ?Kisah menarik? Terkait menggunakan ketawadhuan Mbah Dullah. Merujuk buku Keteladanan KH. Abdullah Zain Salam (Jamal Ma?Mur Asmani, 2018), suatu hari Mbah Dullah & KH. Muslim Rifai Imampuro (Mbah Lim) Klaten berziarah ke makam Syekh Ahmad Mutamakkin di Kajen. Sesampai di makam, tahlil nir pribadi dilaksanakan. Terjadi ?Perdebatan kecil? Diantara keduanya terkait siapa yg sebagai imam tahlil. Mbah Dullah merasa Mbah Lim lah yg seharusnya memimpin tahlil. Sementara Mbah Lim berpikir kebalikannya.

Setelah menolak beberapa kali, Mbah Dullah akhirnya menjadi imam tahlil dan Mbah Lim makmumnya. Orang tahu bahwa suara Mbah Dullah lembut dan lambat, ad interim bunyi Mbah Lim keras, lantang, & cepat. Ketika sampai pada kalimat thayyibah, La Ilaha Illa Allah, maka secara tidak langsung kendali imam tahlil berpindah ke 'tangan Mbah Lim' ?Mengingat suaranya yg lantang.

Mbah Dullah tidak menghentikan bacaan tahlil lantaran merasa Mbah Lim lah yang ketika itu sebagai imam tahlil. Begitu pun Mbah Lim. Dia menduga bila pimpinan tahlil masih Mbah Dullah. Setelah berjalan selama satu jam, akhirnya Mbah Lim mengakhiri tahlil. Hal itu dilakukan lantaran nir terdapat indikasi-tanda Mbah Dullah akan mengakhirinya. Setelah peristiwa itu, Mbah Dullah permanen memosisikan diri menjadi makmum tahlil, meskipun pada awal Mbah Dullah lah yang memimpin tahlil.

Mbah Lim & Iwan Fals

Kejadian serupa terjadi waktu Mbah Lim berkunjung ke Ndalem Mbah Dullah pada akhir tahun 1999-an. Ketika itu, Mbah Lim meminta doa pada Mbah Dullah sebelum dirinya pulang ke Klaten. Lagi-lagi Mbah Dullah menolak permintaan Mbah Lim. Dia meminta Mbah Lim saja yg memimpin doa. Singkat cerita, keduanya mengangkat tangan buat berdoa. Mbah Lim menganggap Mbah Dullah sedang memanjatkan doa sehingga dirinya mengangkat tangan buat mengamini. Sementara Mbah Dullah merasa sebaliknya. Mbah Lim lah yg memimpin doa.

Hingga 40 mnt berlangsung, keduanya masih mengangkat tangan. Belum terdapat tanda-pertanda doa akan diakhiri lantaran memang masing-masing menduga jika dirinya bukan lah pemimpin doa. Lima mnt lalu, Mbah Lim menutup doa dengan bacaan al-Fatihah karena pada ketika itu adzan Ashar telah berkumandang. Jadi Mbah Dullah & Mbah Lim mengangkat tangan buat berdoa selama 45 mnt ?Tanpa memahami? Siapa sesungguhnya yg memimpin doa.

Tidak lain, itu lantaran perilaku tawadhu keduanya. Masing-masing merasa dirinya ?Nir layak? Memimpin karena menduga terdapat orang lain yang lebih layak. Padahal semua memahami kalau kealiman dan keshalihan keduanya nir perlu diragukan lagi. Begitulah sikap tawadhu yang ditampilkan Mbah Dullah & Mbah Lim.

Sumber: Situs PBNU

ADS HERE !!!

Tidak ada komentar untuk "Kisah Mbah Dullah dan Mbah Lim Rebutan Menjadi Makmum"