Kisah Awal Mula Mbah Maimoen Mendirikan Pesantren

Usai menjalani rihlah panjang dalam study ilmiah di banyak sekali pesantren, Mbah Moen berkeinginan mengabdikan dirinya buat mengajar di pesantren milik kakeknya (Kiai Ahmad ibn Syuaib), Pesantren Ma?Had al-Ilmy Asy-Syar?Iyyah (MUS). Ia jua ikut bergerak pada mengihidupkan Madrasah Nahdlatul Wathan yg dahulunya organisatorisnya masih kurang tertata baik, kemudian dirombaknya menggunakan nama baru Madrasah Ghozaliyah Syafi?Iyyah (MGS). Dalam menciptakan madarasah ini, Mbah Moen dibantu Kiai Ali Masyfu?, Kiai Zubair Dahlan, Kiai Abdullah ibn Abdurrahman, Kiai Musa ibn Nur Hadi, Kiai Abdul Wahhab ibn Husein, Kiai Haramain Ma?Shum, dan lain-lain berdasarkan ulama Sarang dan sekitarnya. Semenjak dideklarasikannya Madrasah Ghozaliyah Syafi?Iyyah, Mbah Moen diangkat menjadi Mudir ?Am sampai kini .

Melihat kealiman Mbah Moen yang dipercaya telah mumpuni, Kiai Ahmad bin Syuaib menyuruhnya buat membuat mushalla yang terletak di depan rumahnya menjadi media dakwah buat mengembangkan ilmunya pada warga Sarang. Lambat laun, mushalla ini berubah menjadi pesantren menggunakan jumlah ribuan santri yang datang berdasarkan penjuru Nusantara.

Dalam diri Mbah Moen nir terbesit sedikitpun buat membuat pesantren. Masyarakat sendiri yg berkeinginan memondokan anaknya pada Mbah Moen. Bagi Mbah Moen yg terpenting adalah menolong kepercayaan Allah menggunakan cara mengaji, mengajar para santri menggunakan materi buku-kitab turast peninggalan ulama. Karena antusiasnya santri yang ingin ber-istifadah menggunakan ilmunya Mbah Moen, mereka menyekat mushalla Mbah Moen sebagai dua. Yang satu buat untuk loka shalat dan mengaji, & yg satunya lagi sebagai kamar santri yg mereka namai dengan POHAMA (Pondok Haji Maimoen). Nama ini kemudian hari diganti Mbah Moen sebagai PP. Al-Anwar. Nama Al-Anwar diambil berdasarkan nama ayahnya sebelum berangkat haji yg diubah menjadi Zubair.

Mulanya santri Mbah Moen hanya empat orang, yaitu Kiai Hamid Baidlowi (Lasem, Rembang), Kiai Ashari (Yek Pongge), Kiai Hasib, & Kiai Imam Yahya Mahrus Aly (Pengasuh Pesantren Lirboyo). Lantaran istiqamahnya Mbah Moen dalam mengajar, jumlah santri Al-Anwar cepat sekali bertambah hingga ribuan. Bangunan yg asalnya berupa sekatan mushalla, sekarang bergantikan gedung-gedung pesantren yg begitu megahnya. Al-Anwar yg asalnya cuma satu, kini bertambah sebagai Al-Anwar dua & Al-Anwar tiga. Pesantren Al-Anwar I hanya mengajarkan buku-kitab turast, sedangkan Al-Anwar dua & tiga, selain mengajarkan buku turast, diajarkan pula ilmu generik & modern.

Mbah Maimoen dengan para santri (tahun 1980-an)

Lantaran laju ilmu pengetahuan cepat berkembang pesat & zaman yg selalu berubah, Mbah Moen mengharapkan sebagian santrinya bisa menguasi ilmu kepercayaan dan umum secara seimbang dan selaras. Untuk menjembatani cita-citanya ini, dibangunlah Madrasah Ibtidaiyyah, Stanawiyah, Aliyah, sampai Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Anwar (STAIA).

Dalam nguri-nguri budaya pesantren salaf antik, Mbah Moen selalu menekankan pada santri-santri nya agar selalu mengaji, dan mengedapankan kitab -kitab turast. Ia tak jarang berpesan, ?Yang penting mengaji, jangan berfikir jadi apa. InsyaAllah Allah akan menempatkan kalian dengan sebaik-baiknya loka.?

Dengan taktik Mbah Moen yang berupa pengembangan pesantren secara bilingual, pesantren salaf dan terbaru, ia berharap kelak akan lahir menurut Al-Anwar para ulama, cendiakiawan, pengusaha, pejabat, & rakyat sipil yang menjunjung tinggi nilai-nilai pesantren sebagai acuan pada membangun peradaban Islam Indonesia.

Selain khidmah mengajar pada pesantren, Mbah Moen juga aktif dalam dunia pemerintahan & ormas Islam. Ia pernah sebagai anggota DPRD (1967-1975 M), Majelis Permusyawaratan Rakyat (1978-1991 M), Ketua Majelis Syariah PPP (sampai sekarang), Mustasyar PBNU (hingga kini ), dan lain-lain.

Sumber: bangkitmedia.Com

ADS HERE !!!

Tidak ada komentar untuk "Kisah Awal Mula Mbah Maimoen Mendirikan Pesantren"